BELAJAR SAMBILAN
MUHAMMAD AZNI
PEGERTIAN ALIH KODE DAN CAMPUR KODE
ALIH KODE DAN CAMPUR KODE
A.
Pengertian Kode
Istilah kode dimaksudkan untuk
mencari salah satu varian dalam interaksi kebahasaan. Selain kode kita kenal
pula beberapa varian lain misalnya : varian resional,varian klass sosial,
ragam. Jadi apabila seorang penutur mula-mula menggunakan kode A (misalnya
bahasa indonesia),
dan kemudian beralih menggunakan kode B (misalnya bahasa jawa), maka peristiwa
peralihan pemakaian bahasa seperti itu disebut alih kode.
Misalnya apabila kita mengatakan
bahwa “manusia adalah makhluk berbahasa (homo
lingua)”. Maka yang dimaksud dengan “bahasa” di sini ialah alat verbal yang
dipergunakan oleh manusia untuk berkomunikasi, manusia tidak hanya mengenal
satu bahasa. Kita dapat menyebut misalnya bahasa inggris, bahasa cina, bahasa
indonesia,bahasa jawa dan lain sebagainya yang semuanya bagian dari bahasa.
Alat komunikasi yang merupakan varian dari bahasa terkandung beberapa macam
kode. Dengan demikian maka dalam bahasa terkandung beberapa macam kode.
Selanjutnya apabila kita sering mendengar adanya perbedaan antara bahasa
Inggris-London dengan Inggris-Wales, atau bahasa Cina-Paking dengan bahasa
Cina-Kanton, juga antara bahasa Jawa–Jogja-Solo dengan bahasa Jawa-Banyumas dan
lain sebagainya maka perbedaan-perbedaan seperti itu disebut varian-varian
resional. Demikiannlah maka di dalam satu kode terdapat berbagai kemungkinan
varian resional. Dalam pada itu baik di dalam bahasa inggris-Wales maupun
London, bahasa cina-Peking, maupun Kanton, bahasa indonesia-jawa Tengah maupun
Jakarta, dan bahasa jawa Yogya–solo maupun Banyumas, terdapat perbedaan
pemakaian karena perbedaan klas sosial penuturnya. Perbedaan demikian
menimbulkan bahasa “rendah”, bahasa “menengah” dan bahasa “tinggi”. Yang
masing-masing disebut varian klas sosial dan merupakan bagian dari varian
rasional. Dan apabila kita mengenal bahasa inggris standar di samping non
standar, bahasa cina resmi dan tak
resmi, bahasa indonesia baku dan tak baku, bahasa jawa halus
dan jawa kasar dan sebagainya. Sedangkan apabila kita melihat adanya perbedaan
antara bahasa berita dengan tajuk, bahasa tajuk dengan bahasa pojok, bahasa
pojok dengan bahasa iklan dan sebagainya di dalam surat kabar, maka perbedaan-perbedaan itu
merupakan register-register. Perbedaan register juga terdapat antara bahasa
yang dipergunakan untuk mengajar dengan bahasa pidato, bahasa pidato dengan
bahsa doa, bahasa doa dengan bahasa bahasa untuk melawak dan sebagainya.
Ilustrasi di atas menunjukkan adanya
semkaam hiererki kebahasaan yang dimulai dari “ bahasa “ sebagai level yang
paling atas disusun dengan kode yang terdiri dari varian-varian dan
ragam-ragam, serta gaya dan register sebagai sub-subnya.
B. Alih Kode
Alih kode adalah peristiwa peralihan
dari kode yang satu ke kode yang lain. Jadi apabila seorang penutur mula–mula
menggunakan kode A (misalnya bahasa indonesia), dan kemudian beralih
menggunakan kode B (misalnya bahasa jawa), maka peristiwa peralihan pemakaian
bahasa seperti itu disebut alih kode (code-switching).
Namun karena di dalam suatu kode terdapat berbagai kemungkinan varian (baik
varian resional, varian klas sosial, ragam, gaya
ataupun register) maka peristiwa alih kode mungkin berujud alih varian, alih
ragam, alih gaya
atau alih register. Peralihan demikian dapat damati lewat tingkat–tingkat tata
bunyi, tata kata, tata kalimat, maupun tata wacananya.
Alih kode merupakan salah satu aspek
tentang saling ketergantungan bahasa (language
dependency) didalam masyarakat multilingual. Artinya, didalam masyarakat
multilingual hampir tidak mungkin seorang penutur menggunakan satu bahasa
secara mutlak, tanpa sedikitpun memanfaatkan bahasa atau unsur bahasa yang lain
dalam alih kode penggunaan bahasa (atau lebih) itu ditandai oleh (a)
masing–masing bahasa masih mendukung fungsi-fungsi tersendiri sesuai dengan
konteks, (b) fungsi masing–masing bahasa disesuaikan dengan situasi yang
relevan dengan perubahan konteks. Tanda-tanda demikian oleh Kachru (1965) disebut
ciri–ciri unit–unit konteksual (contextual
unitx). Ciri–ciri itu menunjukkan bahwa didalam alih kode masing–masing
bahasa masih mendukung fungsi tersendiri secara eksklusif, dn peralihan kode
terjadi apabila penuturnya merasa bahwa situasinya relevan dengan peralihan
kodenya. Dengan demikian maka alih kode
menunjukan suatu gejala adanya saling ketergantungan antara fungsi konteksual
dan situasi relevansial didalam pemakaian dua bahasa atau lebih. Appel (1976:99) memberikan batasan alih
kode sebagai gejala peralihan pemakaian bahasa karena perubahan situasi.
Sesuai dengan pengertian kode. Alih
kode mungkin terjadi antar bahasa, antar varian (baik rasional maupun sosial),
antar register, antar ragam, ataupun antar gaya. Hymes
(1975:103) mengatakan bahwa alih kode adalah istilah umum untuk menyebut
pengertian (peralihan) pemakaian dua bahasa atau lebih, beberapa variasi dari
satu bahasa, atau bahkan beberapa gaya
dari satu ragam. Apabila alih kode itu terjadi antar bahasa-bahas daerah, dalam
satu bahasa nasional, atau antara dialek-dialek dalam suatu bahsa daerah, atau
antar beberapa ragam dan gaya
yang terdapat dalam satu dialek, alih kode seperti disebut bersibut intern.
Sedangakan apabila yang terjadi adalah antara bahasa asli dengan bahasa asing,
maka disebut alih kode ekstren. Dalam prakteknya mungkin saja dakam suatu
peristiwa tutur tertentu terjadi alih kode intern dan ekstern secara beruntun,
apabila fungsi kontekstual dan situasi relevansialnya dinilai oleh penutur
cocok untuk melakukan. Contoh-contoh di bawah ini menunjukkan alih kode intern
dan alih kode ekstern.
Contoh I :
Sekretaris :
Apakah Bapak sudah jadi membuat lampiran untuk surat ini?
Majikan : O
ya sudah. Inilah.
Sekretaris :
Terima kasih
Majikan
: Surat ini berisi permintaan borongan untuk
memperbaiki kantor-
Sebelah. Saya sudah kenal dia. Orangnya banyak relasi dan tidak
banyak mencari untung. Lha saiki yen usahane pengin maju-
kudu wani ngono.... (sekarang...... jika usahanya ingin maju
harus berani bertindak demikian).
Sekretaris
: Panci ngaten, Pak. (Memang
begitu, pak)
Majikan
: Panci ngaten priye? (memang
begitu bagaimana?)
Sekretaris :
Tengespun, mbok modali agenga kados menapa, menawi....
(maksudnya, betapa pun besarnya modal, kalau ....)
Majikan :
..... menawa ora akeh hubungane lan olehe mbathi kakehan,
Ora bakal dadi. Ngono
karepmu?
(.... kalau
terlalu banyak mengambil Untung, usahanya tidak akan jadi, begitu maksudmu?)
Sekretaris :
Lha inggih, ngeten! (memang begitu, bukan?)
Majikan :
O ya. Apa surat untuk Jakarta kemarin sudah jadi dikirim?
Sekretaris
: Sudah Pak. Bersama surat Pak Ridwan dengn
kilat khusus.
Dialog diatas menunjukkan terjadinya
peristiwa alih kode intern antara bahasa indonesia dengan bahasa jawa (krama). ALih kode itu terjadi karena
perubahan situasi dan pokok pembicaraan. Dimulai dari pernyataan sekteratis
kepada majikan tentang lampiran surat
yang belum diterimanya, maka baik situasi maupun pokok pembicaraannya mengenai
hal-hal yang bersifat formal. Keduanya menggunakan bahasa indonesia yang cukup baku. Tetapi setelah pokok
pembicaraannya menyangkut masalah pribadi (yaitu sifat-sifat pribadi si calon
pemborong) maka majikan beralih kode ke bahasa jawa (ngoko) untuk mengimbangi peralihan kode majikannya, maka sebagai
bawahannya sekretaris beralih kode pula dengan menggunakan bahasa jawa (krama). Namun ketika pokok pembicaraan
beralih lagi kepada masalah yang bersifat formal tentang surat
ke jakarta maka
keduanya beralih kode lagi ke bahasa indonesia.
Contoh II :
Petra : Have you written the letter for Mr. Hotman, Mr dijk?
Van Dijk :
Oh Yes, Ihave. Here it is
Petra : Thank You.
Van
Dijk : At this man hotman got his
organization to contribusi a lot of
money to the Amsterdamer fancy-fair. Ben ja naar de optocht geweest? (
apakah engkau akan pergi ke (melihat) pekan raya itu?).
Petra : Ja, ik ben er geweest (Ya, saya
akan melihat).
Van Dijk :
He, eh.
Van Dijk :
hoe vond je het? (bagaiman engkau suka melihatnya)
Perta : Oh, erg mooi. (oh, sangat bagus)
Van Dijk :
Oh ya. Do you think that you could get this letter out to day?
Perta : Of course, I’LL have it this
afternoon for you.
Van Dijk :
Okey, good, fine then.
Dialog diatas menunjukkan alih kode
ekstern antara bahasa inggris dan bahasa belanda. Dalam dialog itu pun nampak
jelas bahwa situasi dan pokok pembicaraan menentukan terjadinya alih kode
ketika pembicaradalam situasi serius dan berkisar kepada hal-hal yang
“zakelijk”, pembicaraan berlangsung dengan bahasa inggris. Tetapi setelah pokok
pembicarannya beralih kepada hal-hal yang lebih santai, maka mereka beralih
kode ke bahasa belanda (bahasa mereka).
Dalam peristiwa alih kode mungkin
terjadi kontiuum, yaitu” peralihan antara”dari kode yang satu ke kode yang
lain. Kontiuum semacam itu sering terjadi pada alih kode intern (baik antara
bahasa-bahasa daerah, varian, ragam, register maupun unda-usuk), dan di
maksudkan untuk menjaga keseimbangan situasi sehingga peralihan kode itu tidak
terasa “mengejutkan”. Kontiuum alih kode biasanya disertai peralihan kata-kata
sapaan tertentu terhadap interlekutornya. Misalnya apabila dua orang remaja jawa
baru pertama kali bertemu dan berkenalan, mula-mula kedua pihak menggunakan
bahasa jawa krama (inggil). Biasanya pihak putra akan menyapa dengan kata
sapaan “mbak” kepada pihak putri, meskipun cukup sadar dia bahwa dilihat dari
umur, dia lebih tua dari lawan bicaranya. Kata sapaan “dik” akan terdengar dari
pihak putri, juga dengan kesadaranbahwa ia lebih muda dari kenalan barunya itu.
Namun apabila perkenalan makin akrab, maka mereka akan beralih kode ke ragam
madya, atau sepotong krama dan sepotong ngoko. Kata sapaan yang dipergunakan
tidak begitu jelas dan kadang-kadang hanya “berkono-konoan” antara keduanya
(misalnya, Lha kono priye? “ Lha, engkau/situ bagaimana?”). dan setelah
perkenalan intimnya, maka mereka beralih kode lagi, keduanya menggunakan varian
ngoko dan pihak putra menyapa dengan kata sapaan “dik” sedangkan pihak putri
dengan “mas”. Dan setelah mereka menjadi suami isteri, varian ngoko halus
mereka pergunakan, sedangkan kata sapaan beralih dengan kata “bu” dan “pak”.
C. Beberapa
faktor penyebab alih kode
Alih kode adalah perisiwa kebahasaan yang
disebabkan oleh faktor-faktor luar bahasa, terutama faktor-faktor yang sifatnya
sosio-situasional. Beberapa faktor yang biasanya merupakan penyebab terjadinya
alih kode antara lain:
1. Penutur
Seoarang penutur kadang-kadang dengan
sadar berusaha beralih kode terhadap lawan tuturnya karena suatu
maksud.misalnya apabila seorang bawahan menghadap atasanya di kantor (dalam
situasi resmi), seharusnya mereka berbahasa indonesia. Namun kenyataannya
tidaklah demikian. Apabila karena kedinasanya atasanya menggunakan bahasa indonesia,
maka nampak usaha dari bawahannya untuk sedapat mungkin beralih kode dengan
bahasa daerahnya. Usaha demikian dilakukan dengan maksud mengubah situasi,
yaitu dari situasi resmi ke situasi tak resmi. Dengansituasi tak resmi
diharapkan masalah-masalah yang sedang dibicarakan akan lebih mudah dipecahkan.
Tetapi apabila “ajakan” beralih kode itu tidak ditanggapi oleh atasanya, itu
merupakan salah satu pertanda bahwa usaha pemecahan masalah mungkin tidak
seperti yang diharapkan.
2. Lawan tutur
Setiap penutur pada umumnya ingin
mengimbangi bahasa yang dipergunakan lawantuturnya. Di dalam masyarakat
multilingual itu berarti bahwa seorang penutur mungkin harus beralih kode
sebanyak kali lawan tutur yang dihadapinya. Dalam hal ini lawan tutur dapat
dibedakan menjadi dua golongan yaitu: (a) 02 yang berlatar belakang kebahasaan
sama dengan penurur, dan (b) 02 yang berlatar belakang kebahsaannya berlainan
dengan penutur. Menghadapi lawan tutur golongan (a), alih kode mungkin berwujud
alih varian (baik rasional maupun sosial), alih ragam, alih gaya
gaya atau alih
register. Dan berhadapan dengan lawan tutur golongan (b) alih kode mungkin
terjadi dari bahasa daerah ke bahasa daerah lain yang dikuasainya, dari bahasa
daerah ke bahasa nasional atau mungkin pula dari keduanya ke bahsa asing
tetentu.
3. Hadirnya
penutur ketiga
Dua orang yang berasal dari kelompok
etnik yang sama pada umumnya saling berinteraksi dengan bahasa etniknya. Tetapi
apabila kemudian hadir orang ketiga dalam pembicaraan itu, dan orang itu
berbeda latar kebahasaannya, biasanya dua orang yang pertama beralih kode ke
bahasa yang dikuasai oleh ketiganya. Hal itu dilakukan untuk netralisasi
situasi dan sekaligus menghormati hadirnya orang ketiga tersebut. Tetap
dipergunakan bahasa kelompok etnik oleh keduanya, padahal mereka tahu bahwa
orang ketiga tidak tahu bahasa mereka, dianggap sebagai suatu perilaku yang
kurang terpuji.
4. Pokok pembicaraan (topik)
Pokok pembicaraan atau topik
merupakan faktor yang termasuk dominan dalam menentukan terjadinya alih kode.
Pokok pembicaraan pada dasarnya dapat dibedakan menjadi dua golongan besar
yaitu : (a) pokok pembicaraan yang bersifat formal (misalnya : mengenai
kedinasan, ketatanegaraan, keilmuan, pependidikan dan sebagainya), dan (b)
pokok pembicaraan yang bersifat informal (misalnya : masalah kekeluargaan,
persaudaraan, kesetiakawanan dan sebagainya). Topik golongan (a) biasanya
diungkapkan dengan bahasa baku, dengan gaya netral dan
disampaikan secara serius. Sedangkan topik golongan (b) disampaikan dengan
basaha tak baku, dengan gaya sedikit emosional dan serba seenakknya.
Apabila seorang penutur mula-mula berbicara tentang hal–hal yang sifatnya
formal, dan kemudian kembali ke hal – hal yang sifatnya informal, maka akan
dibarengi pula dengan peralihan kode dari bahasa baku,
gaya nertal daan serius ke bahsa tak baku, bergaya sedikit
emosional atau humor dan seenaknya. Apabila yang dihadapinya adalah orang-orang
sekelompok etniknya, hampir pasti mereka akan segera bealih kode ke bahasa
kelompok etniknya.
5. Untuk
membangkitkan rasa humor
Alih kode sering di manfaatkan oleh
guru, pemimpin rapat atau pelawak untuk membangkitkan rasa humor.bagi guru
bangkitnya rasa humor sangat diperlukan untuk menyegarkan suasana yang
dirasakan mulai lesu (misalnya pada jam-jam pelajaran terakhir). Pemimpin rapat
membangkitkan rasa humor untuk menghadapi ketegangan yang mulai timbul dan
memecahkan masalah atau kelesuan karena telah cukup lama bertukar pikiran dan
sebagainya. Sedangkan bagi pelawak sudah jelas fungsinya yaitu untuk membuat
penonton merasa senang dan puas. Alih kode demikian mungkin berujud alih
varian, alih ragam atau alih gaya
bicara.
6. Untuk sekedar
bergengsi
Sebagian penutur ada yang beralih
kode untuk bergengsi. Hal itu terjadi apabila baik faktor situasi, lawan
bicara, topik, dan faktor-faktor sosio-situasional yang lain sebenarnya tidak
mengharuskan untuk beralih kode. Atau dengan kata lain, baik fungsi koteksual
maupun situasi relevansialnya tidak mendukung peralihan kodenya. Oleh karena
alih kode semacam ini tidak didukung oleh faktor – faktor yang seharusnya mendukung,
maka memberi kesan dipaksakan, tidak wajar dan tidak jarang menjadikan tidak
komunikatif. Alih kode demikian biasanya didasari oleh penilaian penutur
bahasa-bahasa yang satu lebih tinggi nilai sosialnya dari bahsa yang lain.
D.
Campur kode
Aspek lain dari saling ketergantungan
bahasa dalam masyarakat multilingual ialah terjadinya gejala campur kode.
Apabila didalam alih kode fungsi konteks relevansi situasi merupakan ciri-ciri
ketergantungan, maka di dalam campur kode ciri-ciri ketergantungan ditandai
oleh adanya hubungan timbal-balk antara peranan dan fungsi kebahasaan. Peranan
maksudnya siapa yang menggunakan bahasa itu; sedangkan fungsi kebahasaan
berarti apa hendak dicapai oleh penutur dengan tuturannya. Jika seorang penutur
dalam tuturannya bercampur kode, maka harus dipertanyakan dulu siapakah dia.
Dalam hal ini sifat-sifat khusus si penutur (misalnya: latar belakang sosial,
tingkat pendidikan rasa keagamaan dan sebagainya) sangat penting. sifat-sifat
khusus penutur akan mewarnai campur kodenya.
Di pihak lain fungsi kebahasaan menentukan sejauh mana bahasa yang
dipakai oleh si penutur memberi kesempatan untuk bercampur kode. Seorang
penutur yang menguasai banyak bahasa akan mempunyai kesempatan bercampur kode
lebih banyak dari pada penutur lain yang hanya menguasai satu dua bahasa saja.
Tetapi itu tidak berarti bahwa penutur yang menguasai lebih banyak bahasa
selalu lebih banyak bercampur kode. Sebab apa yang hendak dicapai oleh penutur dengan tuturannya sangat menentukan
pilihan bahasanya. Atau dengan kata lain, apabila ia memilih bercampur kode,
maka pemilihannya itu cukup relevan dengan apa yang hendak dicapai oleh
penuturnya.
Ciri lain dari gejala campur kode
ialah bahwa unsur-unsur bahasa atau variasi-variasinya yang menyisip di dalam
bahasa lain tidak lagi mempunyai fungsi tersendiri. Unsur-unsur itu telah
menyatu dengan bahasa yang disisipinya dan secara keseluruhan hanya mendukung
satu fungsi. Dalam kondisi yang maksimal campur kode merupakan konvergensi
kebahasaan (linguistic convergence) yang
unsur-unsurnya yang berasal dari beberapa bahasa yang masing-masing telah
menanggalkan fungsinya dan mendukung fungsi bahasa yang disisipinya.
Unsur-unsur demikian dapat dibedakan menjadi dua golongan yaitu: (a) yang
bersumber dari bahasa asli dengan segala variasi-variasinya dan (b) bersumber
dari bahasa asing. Campur kode dengan unsur-unsur golongan (a) disebut campur
kode ke dalam (linner code-mixing);
sedangkan campur kode yang unsur-unsurnya dari golongan (b) disebut campur kode
ke luar (outer code-mixing).
Seorang penutur yan dalam pemakaian
bahasa indonesianya banyak tersisip unsur-unsur bahasa daerah, atau sebaliknya,
berbahasa daerah dengan banyak menyisipkan unsur-unsur bahasa indonesia, maka penutur tersebut
bercampur kode ke dalam. Di satu pihak peristiwa semacam itu sering menimbulkan
apa yang disebut “bahasa Indonesia yang kedaerah-daerahan “ (misalnya
kejawa-jawaan, kejakarta-kejakartaan, kebatak-batakan, dan sebagainya). Di
pihak lain akan menimbulkan apa yang sering kita dengar dengan sebutan” bahasa
daerah yang keindonesia-keindonesia” (misalnya bahasa jawa yang
keindonesia-indonesian yang mungkin dapat disebut bahasa “Jawanesia”). Kachru
(1978:28) memberikan batasan campur kode sebagai pemakaian dua bahasa atau
lebih dengan saling memasukkan unsur-unsur bahasa yang satu ke dalam bahasa
yang lain secara konsisten.
Dalam pada itu Thelander (1976:103) berpendapat bahwa unsur-unsur bahasa yang
terlibat dala “peristiwa campur” (co-occurance)
itu terbatas pada tingkat klausa. Apabila dalam suatu tuturan terjadi
percampuran atau kombinasi antara variasi-variasi berbeda didalam klausa yang
sama, maka peristiwa itu di sebut campur kode. Klausa-klausa yang berisi
campuran dari beberapa variasi yang berbeda disebut klausa baster (hybrid clauses). Dengan sudut pandang
demikian, thelander membedakan antara peristiwa alih kode dan campur kode dan
melihat kemungkinan terjadinya perkembangan dari campur kode menuju ke alih
kode. Jika didalam suatu tuturan terjadi peralihan dari klausa bahasa yang satu
ke klausa bahasa yang lain dan masing-masing klausa masih mendukung fungsi
tersendir, maka terjadilah peristiwa alih kode. Tetapi apabila suatu tuturan
baik klausa maupun frasa-frasanya terdiri dari klausa dan frasa sater, dan
masing-masing klausa maupun frasanya tidak lagi mendukung fungi tersendiri,
maka akan terjadi campur kode dengan mengurangi sifat-sifat kebasteran
klausa-klausanya dan memberi fungsi-fungsi tertentu berdasarkan sumber
bahasanya masing-masing, akan nampk adanya gejala perkembangan dari campur kode
menuju ke alih kode.
E.
Latar belakang terjadinya
campur kode
Latar belakang terjadinya campur kode
pada dasarnya dapat dikategorikan menjadi dua tipe yaitu : tipe yang yang
belatar belakang pada sifat (attitudinal
type) dan tipe yang berlatar belakang kebahasaan (linguistik type). Kedua type itu saling bergantung dan tidak jarang
bertumpang tindih (overlap). Atas
dasar latar belakang sikap dan kbahasaan yang saling bergantung dan saling
bertumpang tindih seperti yang dapat kita identifikasikan beberapa alasan atau
penyebaba yang mendorong terjadinya campur kode. Alasan – alasan itu antara
lain ialah : (a) identifikasi peranan, (b) identifikasi ragam dan (c)
keinginana untuk menjelaskan dan menafsirkan. Dalam hal ini pun ketiganya
saling bergantng dan tidak jarang bertumpang tindih. Ukuran untuk identifikasi
perannan adalah soaial, registral, dan idukasional. Identifikasi ragam
ditentukan oleh bahasa dimana seorang penutur melakukan campur kode yang akan
menempatkan dia didalam hierarki status sosialnya. Sedangkan keinginan untuk
menjelaskan dan menafsirkan, nampak karena campur kode juga menandai sikap dan
hubungannya terhadap orang lain dan sikap dan hubungan orang lain terhadapnya.
Misalnya bercampur kode dengan unsur–unsur bahasa belanda di Indonesia
menunjukkan bahwa penuturnya termasuk orang “ tempo doeloe”, terpelajar dan “
bukan orang sembarangan “ sedangkan bercampur kode dengan unsur-unsur bahasa
inggris dapat memberi kesan bahwa si penurur “ orang masa kini ‘, berpendidikan
cukupdan mempunyai hubungan luas. Campur kode dengan unsur–unsur bahasa rab
memberi kesan bahwa dia seorang muslim, taat beribadah atau pemuka agam islam
yang memadai dan sebagainya.
Campur kode di atas bersifat ke luar.
Sedangkan campur kode ke dalam nampak misalnya apabila seorang penutur
menyisipkan unsur-unsur bahasa daerahnya kedalam bhasa nasional, unsur-unsur
dialeknya ke dalam bahasa daerahnya atau unsur-unsur ragam dan gayanya kedalam
dialeknya. Penyisipan demikian juga dapat menunjukan identidikasi peranan tertentu,
identifikasi tertentu atau keinginan atau tafsiran tertentu. Campur kode dengan
unsur-unsur bahasa daerah menunjukan bahwa si penutur cukup kuat rasa daerahnya
atau ingin menunjukan ke khasan daerahnya. Bercampur kode dengan unsur-unsur
dialek jakarta dapat memberikan bahwa si penutur termasuk”orang metropolitan”,
bukan lagi “orang udik” telah keluar dari lingkunganya yang sempit dan
sebagainya. Di dalam pemakaian bahasa jawa pemilihan variasi-variasi bahasa
jawa (ngoko, madya, krama) dan cara
mengekspresikan variasi-variasi itu terhadap interlekutornya, dapat memberi
kesan baik status sosial ataupun tingkat pendidikan penuturnya.
Demikianlah maka campur kode itu
terjadi karena adanya hubungan timbal balik antara peranan (penutur), bentuk
bahasa dan fungsi bahasa. Artinya penutur yang mempunyai latar belakang sosial
tertentu, cenderung memilih bentuk campur kode tertentu untuk mendukug
fungsi-fungsi tertentu. Pemilihan bentuk campur kodedemikian di maksudkan untuk
menunjukan status sosial dan identitas pribadinya di dalam masyarakat.
F. Beberapa
macam wujud campur kode
Berdasarkan unsur-unsur kebahasaan
yang terlibat di dalamnya, campur kode dapat dibedakan menjadi beberapa macam
antara lain ialah :
1. penyisipan unsur-unsur yang
berujud kata:
Mangka sering kali sok
ada kata-kata seolah-olah bahasa
Padahal sering kali sering
ada kata-kata seolah-olah bahasa
Daerah itu
kurang penting
Daerah itu
kurang penting
“ padahal sering kali ada anggapan
bahwa bahasa daerah itu kurang penting”
sarkas aur
numayis yaha phel
hai
sirkus dan
pameran disini gagal
adalah
“di sini sirkus dan pameran tidak
(pernah) berhasil”.
2. penyisipan unsur-unsur yang
berujud frasa :
nah karena
saya sudah kadhung
apik sama dia,
nah karena
saya sudah terlanjur baik
dengan dia,
“Nah karena saya sudah benar-benar
baik dengan dia, maka saya tanda tangani”
vipaksh dvara vak aut
beroposisi dengan
berjalan keluar
“ Beroposisi dengan meninggalkan
sidang”
3. penyisipan unsur-unsur yang
berujud bentuk baster :
banyak klap malam yang harus ditutup.
hendaknya segera diadakan hutanisai
kembali.
Tisre din
kuch zaruri drapht tayp
karvane the
Ketiga hari
beberapa penting draf ketik mengerjakan ada
“ pada hari ketiga beberapa draf
penting harus sudah diketik”
4. penyisipan unsur-unsur yang
berujud perulangan kata :
sudah waktunya kita menghindari
backing-backingan dan klik-klikan.
Saya sih boleh-boleh saja, asal dia
tidak tonya-tanya lagi.
Akting vakting mai kya janu re
Akting dan sejenis saya
apa akan tahu
he
“ bagaiman saya mengetahui akting dan
sejenisnya?”
petrol vetrol bhar liya hai
bensin dan sejenisnya sudah
mengisi adalah
“bensin dan sejenisnya telah
diisikan”
5. penyisipan unsur-unsur yang
berujud ungkapan atau idiom :
Pada waktu ini hendaknya kita hindari
cara kerja alon-alon asal kelakon.
(perlahan-lahan asal dapat jalan)
Yah apa boleh buat, better laat dan
noit (lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali)
Dalam jaman yang serba sulit ini,
hendaknya kita membiasakan berkana’ah ( mencukupkan apa yang ada).
6. penyisipan unsur-unsur yang
berwujud klausa :
mau apa lagi, ik heb toch iest gedaan
( aya toh sudah berusaha).
Pemimpin yang bijaksana akan selalu
bertindak ing ngrasa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handyani
(di depan memberi teladan, di tengh mendorong semanagt, di belakang menguasai).
Parhne me
sima ki bahut
ruci hai vah
kahti hai
Belajar bagi
sima dari banyak
perhatian adalah ia
berkata adalah
Education is necessary for
life
Pendidikan adalah perlu
untuk hidup
“sima sangat menaruh perhatian pada
belajar. Ia berkata, “ pendidikan sangat diperlukan dlam kehidupan”.
A. Hakikat Bahasa
Bahasa adalah ucapan, pikiran dan
perasaan seseorang yang teratur dan digunakan sebagai alat
komunikasi antaranggota masyarakat. Bahasa juga merupakan salah satu ciri
paling khas yang membedakannya dari makhluk-makhluk lain.
Ciri-ciri yang merupakan hakikat
bahasa, antara lain sebagai berikut:
- Bahasa sebuah sistem lambang berupa bunyi.
Bahasa adalah
sebuah sistem, artinya bahasa dibentuk oleh sejumlah komponen yang berpola
secara tetap dan dapat dikaidahkan.
2.
Bahasa bersifat arbitrer
Artinya,
hubungan antara lambang dengan yang dilambangkannya tidak bersifat wajib, bisa
berubah dan tidak dapat dijelaskan mengapa lambang tersebut mengonsepi makna
tertentu.
3.
Bahasa bersifat produktif
Artinya, dengan
sejumlah unsur yang terbatas, akan tetapi dapat dibuat satuan-satuan ujaran
yang hampir tidak terbatas.
4.
Bahasa bersifat dinamis
Artinya, bahasa
tidak terlepas dari berbagai kemungkinan perubahan yang sewaktu-waktu dapat
terjadi.
5.
Bahasa bersifat beragam
Artinya,
meskipun sebuah bahasa mempunyai kaidah atau pola tertentu yang sama, namun
karena bahasa itu digunakan oleh penutur yang heterogen yang mempunyai latar
belakang sosial dan kebiasaan yang berbeda, maka bahasa itu menjadi beragam.
6.
Bahasa bersifat manusiawi
Artinya, bahasa
sebagai alat komunikasi verbal hanya dimiliki oleh manusia.
Bahasa memiliki fungsi-fungsi yang
dapat dilihat dari beberapa segi, antara lain:
1.
Dilihat dari sudut penutur
Bahasa berfungsi
sebagai personal atau pribadi. Maksudnya si penutur bukan hanya mengungkapkan
emosi lewat bahasa, tetapi juga memperlihatkan emosi itu sewaktu menyampaikan
tuturannya.
2.
Dilihat dari segi pendengar atau lawan bicara
Bahasa berfungsi
sebagai direktif, yaitu mengatur tingkah laku pendengar. Bahasa tidak hanya
membuat si pendengar melakukan sesuatu, tetapi juga melakukan kegiatan yang
sesuai dengan yang diinginkan si pembicara.
3.
Dilihat dari segi kontak antara penutur dan pendengar
Bahasa berfungsi
sebagai fatik yaitu fungsi menjalin hubungan, memelihara, memperlihatkan
perasaan bersahabat atau solidaritas sosial.
4.
Dilihat dari segi topik ujaran
Bahasa berfungsi
sebagai referensial yaitu sebagai alat untuk membicarakan objek atau peristiwa
yang ada di sekeliling penutur atau yang ada dalam budaya pada umumnya.
5.
Dilihat dari segi kode
Bahasa berfungsi
sebagai metalingua atau metalinguistik yaitu bahasa digunakan untuk
membicarakan bahasa itu sendiri.
6.
Dilihat dari segi amanat
Bahasa berfungsi
sebagai imaginatif yaitu sesungguhnya bahasa digunakan untuk menyampaikan
pikiran, gagasan dan perasaan, baik yang sebenarnya, maupun yang hanya
imaginatif.
. Dalam bahasa
tulis selalu menggunakan ejaan seperti yang diatur dalam
Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia Yang
Disempurnakan, baik dalam
penulisan kata, penggabungan kata, maupun
penulisan kalimat. Misalnya :
Baku
|
Tidak
Baku
|
Apotek
|
Apotik
|
Doa
|
Do’a
|
Dalam bahasa
lisan selalu menggunakan bahsa baku. Sesungguhnya lafal
baku bahasa Indonesia belum pernah ditetapkan.
Namun, ada konsensus
dikalangan
para pakar bahwa lafal baku bahasa Indonesia
adalah lafal yang
bebas dari ciri–
ciri lafal dialeg setempat atau lafal bahasa daerah.
Misalnya :
Baku
|
Tidak
Baku
|
Atap
|
Atep
|
Kalaw
|
Kalo
|
Komentar
Posting Komentar