MAKALAH TENTANG ISLAM DAN PENDIDIKAN
ISLAM DAN PENDIDIKAN
A. PENDAHULUAN
Lahirnya
agama Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW, pada abad ke-7 M, menimbulkan
suatu tenaga penggerak yang luar biasa, yang pernah dialami oleh umat manusia.
Islam merupakan gerakan raksasa yang telah berjalan sepanjang zaman dalam pertumbuhan
dan perkembangannya.
Masuk
dan berkembangnya Islam ke Indonesia dipandang dari segi historis dan
sosiologis sangat kompleks dan terdapat banyak masalah, terutama tentang
sejarah perkembangan awal Islam. Ada perbedaan antara pendapat lama dan
pendapat baru. Pendapat lama sepakat bahwa Islam masuk ke Indonesia abad ke-13
M dan pendapat baru menyatakan bahwa Islam masuk pertama kali ke Indonesia pada
abad ke-7 M. (A.Mustofa,Abdullah,1999: 23). Namun yang pasti, hampir semua ahli
sejarah menyatakan bahwa daerah Indonesia yang mula-mula dimasuki Islam adalah
daerah Aceh.(Taufik Abdullah:1983)
Datangnya
Islam ke Indonesia dilakukan secara damai, dapat dilihat melalui jalur
perdagangan, dakwah, perkawinan, ajaran tasawuf dan tarekat, serta jalur
kesenian dan pendidikan, yang semuanya mendukung proses cepatnya Islam masuk
dan berkembang di Indonesia.
Kegiatan
pendidikan Islam di Aceh lahir, tumbuh dan berkembang bersamaan dengan
berkembangnya Islam di Aceh. Konversi massal masyarakat kepada Islam pada masa
perdagangan disebabkan oleh Islam merupakan agama yang siap pakai, asosiasi
Islam dengan kejayaan, kejayaan militer Islam, mengajarkan tulisan dan hapalan,
kepandaian dalam penyembuhan dan pengajaran tentang moral.(Musrifah,2005: 20).
Konversi
massal masyarakat kepada Islam pada masa kerajaan Islam di Aceh tidak lepas
dari pengaruh penguasa kerajaan serta peran ulama dan pujangga. Aceh menjadi
pusat pengkajian Islam sejak zaman Sultan Malik Az-Zahir berkuasa, dengan
adanya sistem pendidikan informal berupa halaqoh. Yang pada kelanjutannya
menjadi sistem pendidikan formal.
B. PEMBAHASAN
Pendidikan
adalah sebuah media bagi terjadinya transformasi nilai dan ilmu yang berfungsi
sebagai pencetus corak kebudayaan dan peradaban manusia. Pendidikan
bersinggungan dengan upaya pengembangan dan pembinaan seluruh potensi manusia
(ruhaniah dan jasadiyah) tanpa terkecuali dan tanpa prioritas dari sejumlah
potensi yang ada. Dengan pengembangan dan pembinaan seluruh potensi tersebut,
pendidikan diharapkan dapat mengantarkan manusia pada suatu pencapaian tingkat
kebudayaan yang yang menjunjung hakikat kemanusiaan manusia.
Pendidikan
berwawasan kemanusiaan memberikan pengertian bahwa pendidikan harus memandang
manusia sebagai subyek pendidikan, bukan sebagai obyek yang memilah-milah
potensi (fitrah) manusia. Artinya, pendidikan adalah suatu upaya memperkenalkan
manusia akan eksistensi dirinya, baik sebagai diri pribadi yang hidup bersama
hamba Tuhan yang terikat oleh hukum normatif (syariat) dan sekaligus sebagai
khalifah di bumi. Konsep pendidikan yang mengesampingkan dasar-dasar tersebut,
adalah pendidikan yang akan mencetak manusia-manusia tanpa kesadaran etik, yang
pada akhirnya melahirkan cara pandang dan cara hidup yang tidak lagi
konstruktif bagi tegaknya nilai-nilai kemanusiaan. Untuk itu perlu adanya
konseptualisasi ilmu dalam pendekatan filsafati yang merupakan kerangka dasar
dalam upaya memperjelas dan meluruskan cara pandang manusia, baik mengenai
dirinya, alam lingkungan, maupun terhadap campur tangan Allah SWT.
Pada
dasarnya, Islam sebagai agama yang sempurna telah memberikan pijakan yang jelas
tentang tujuan dan hakikat pendidikan, yakni memberdayakan potensi fitrah
manusia yang condong kepada nilai-nilai kebenaran dan kebajikan agar ia dapat
memfungsikan dirinya sebagai hamba (QS.As-Syams:8;QS.Adz Dzariyat:56). Oleh
karena itu, pendidikan berarti suatu proses membina seluruh potensi manusia
sebagai makhluk yang beriman dan bertakwa, berfikir dan berkarya,untuk
kemaslahatan diri dan lingkungannya.
Islam
adalah panduan hidup manusia di dunia dan akhirat yang bukan sekedar agama
seperti dipahami selama ini, tetapi meliputi seluruh aspek dam kebutuhan hidup
manusia. Ilmu dalam Islam meliputi semua aspek ini yang bisa disusun secara
hirarkis dari benda mati, tumbuhan, hewan, manusia hingga makhluk gaib dan
puncak kegaiban. Susunan ilmu tentang banyak aspek ini bisa dikaji dari
pemikiran Islam. Mengingat seluruh tradisi keagamaan dalam sejarah umat manusia
mulai dari nabi Adam diklaim sebagai Islam dan seluruh alam natural dan
humanitas sebagai ayat-ayat Tuhan, maka seluruh ilmu tentang hal ada, merupaka
ilmu tentang ayat-ayat Tuhan dan Islam itu sendiri.
Sepanjang
sejarah otentik Islam, ilmu pengetahuan dan teknologi bersumber dari dua bentuk
wahyu, yakni ayat-ayat Alqur’an dan ayat-ayat kauniyah (sunnatullah). Wahyu
pada ranah pertama dipahami dengan menafsirkan teks secara eksplanatif, dan
wahyu ranah kedua dipahami dengan melakukan deskripsi, eksplorasi dan
ekspperimental secara sistematis, lalu keduanya disatukan di dalam filsafat
dengan segala tingkatannya. Al-Qur’an sendiri memberikan informasi tentang
wahyu Tuhan yang telah diturunkan sejak masa Nabi Adam. Diperkirakan masa
Yunani yang memproduksi tradisi filsafat awal berlangsung sezaman dengan
turunnya Zabur kepada Nabi Daud dan Taurot kepada Nabi Musa (A. Munir Mulkhan,2002)
Dalam
kesajarahan, Islam pernah membuktikan diri sebagai umat yang memiliki peradaban
gemilang dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mengungguli
kejayaan Eropa pada masa lalu. Islam telah mewariskan tokoh ilmuwan besar
seperti Al Jabir, Al Khawarizmi, Ibnu Sina, Ibnu Rusydi, Al Kindi dan lainnya.
Oleh karenanya, keharusan kembali melihat khazanah dan etos keilmuan di masa
lalu itu menjadi salah satu penekanan, mengingat khazanah pengetahuan Islam
masa lalu yang kaya dengan semangat inklusivismenya dan juga kekayaan nuansa
spiritual. Sayangnya, hal itu kurang mendapat apresiasi berimbang dalam dunia
ilmiah akademik dewasa ini. Tekanan imperialisme epistemologi dari pengetauan
Barat Modern yang kini telah mewabah, dirasakan cukup kuat menjebak dan
menggiring kehidupan intelektual dan akademik, secara perlahan tapi pasti dapat
melalaikan apa yang yang telah menjadi kekayaan intlektual umat Islam masa
lalu. Ada banyak sebab mengapa Islam belum mampu membangun kerangka paradigma
yang lain untuk mengenyahkan imperialisme paradigma pengetauan Barat Modern,
diantaranya, apresiasi terhadap khazanah intelektual Islam lama, masih berkutat
dan berputar-putar pada produk jadi (Amin Abdullah, 1995) ketimbang pada etos
keilmuan terutama metodologi yang dikembangkan oleh para pemikir muslim masa
lalu. Selain itu, membangun paradigma pengetahuan Islam yang terpadu akan
mengalami kesulitan manakala masih terdapat sikap dikotomis di kalangan umat
yang memisahkan ilmu-ilmu agama (wilayah naqliyah) dengan ilmu-ilmu umum
(wilayah ‘aqliyah).
Untuk itu diperlukan konseptualisasi ilmu dalam pendidikan, yang menawarkan adanya ilmu naqliyah yang melandasi semua ilmu aqliyah, sehingga diharapkan dapat mengintegrasikan antara akal dan wahyu, ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu agama dalam proses pendidikan. Sehingga, melalui upaya tersebut dapat merealisasikan proses memanusiakan manusia sebagai tujuan pendidikan, yaitu mengajarkan, mengasuh, melatih, mengarahkan, membina dan mengembangkan seluruh potensi peserta didik dalam rangka menyiapkan mereka merealisasikan fungsi dan risalah kemanusiaannya di hadapan Allah SWT, yaitu mengabdi sepenuhnya kepada Allah SWT dan menjalankan misi kekhalifahan di muka bumi, sebagai makhluk yang berupaya mengiplementasikan nilai-nilai ilahiyah dengan memakmurkan kehidupan dalam tatanan hidup bersama dengan aman, damai dan sejahtera.
Untuk itu diperlukan konseptualisasi ilmu dalam pendidikan, yang menawarkan adanya ilmu naqliyah yang melandasi semua ilmu aqliyah, sehingga diharapkan dapat mengintegrasikan antara akal dan wahyu, ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu agama dalam proses pendidikan. Sehingga, melalui upaya tersebut dapat merealisasikan proses memanusiakan manusia sebagai tujuan pendidikan, yaitu mengajarkan, mengasuh, melatih, mengarahkan, membina dan mengembangkan seluruh potensi peserta didik dalam rangka menyiapkan mereka merealisasikan fungsi dan risalah kemanusiaannya di hadapan Allah SWT, yaitu mengabdi sepenuhnya kepada Allah SWT dan menjalankan misi kekhalifahan di muka bumi, sebagai makhluk yang berupaya mengiplementasikan nilai-nilai ilahiyah dengan memakmurkan kehidupan dalam tatanan hidup bersama dengan aman, damai dan sejahtera.
KEADAAN PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA
Telah kita ketahui bahwa usha
pendidikan Islam sama tujuannya dengan Islam itu sendiri, dan pendidikan Islam
tidak terlepas dari sejarah Islam pada umumnya. Karena itulah, periodesasi
sejarah pendidikan Islam berada dalam periode-periode sejarah Islam itu
sendiri. Pendidikan Islam tersebut pada dasarnya dilaksanakan dalam upaya
menyahuti kehendak umat Islam pada masa itu dan pada masa yang akan datang yang
dianggap sebagai kebutuhan hidup (need of life). Usaha yang dimiliki, apabila
kita teliti atau perhatikan lebih mendalam, merupakan upaya untuk melaksanakan
isi kandungan Al-Qur'an terutama yang tertuang pada surat Al-Alaq: 1-5.
Sebagimana hanya Islam yang mula-mula diterima Nabi Muhammad SAW. Melalui
Malaikat jibril di gua Hira. Ini merupakan salah satu contoh dari
opersionalisasi penyampaian dari pendidikan tersebut.
Prof. Dr. Harudn Nasution, secara garis besar membagi sejarah Islam ke dalam tiga periode, yaitu perode klasik, pertengahan, dan modern. Selanjutnya, pembahasan tentang lintasan atau periode sejarah pendidikan Islam mengikuti penahapan perkembangan sebagai berikut:
1.
Periode pembinaan pendidikan Islam, berlangsung pada masa nab Muhammad SAW.
Selama lebih kurang dari 23 tahun, yaitu sejak beliau menerima wahyu pertama
sebagai tanda kerasulannya sampai wafat.
2.
Periode pertubuhan pendidikan, berlangsung sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW.
Sampai dengan akhir kekuasaan Bani Umaiyah, yang diwarnai oleh penyebaran Islam
ke dalam lingkungan budaya bangsa di luar bangsa Arab dan perkembangannya
ilmu-ilmu naqli
3.
Periode kejayaan pendidikan Islam, berlangsung sejak permulaan Daulah bani
Abbasiyah sampai dengan jatuhnya kota Bagdad yang diwarnai oleh perkembangan
secara pesat ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam serta mencapai puncak
kejayaannya.
4.
Tahap kemuduran pendidikan berlangsung sejak jatuhnya kota Bagdad sampai dengan
jatuhnya Mesir oleh Napoleon sekirat abad ke-18 M. yang ditandai oleh lemahnya
kebudayaan Islam berpindahnya pusat-pusat pengembangan kebudayaan dan peradaban
manusia ke dunia Barat.
5.
Tahap pembaharuan pendidikan Islam, berlangsungnya sejak pendudukan Mesir Oleh
Napoleon pada akhir abad ke-18 M. sampai sekarang, yang di tandai oleh masuknya
unsur-unsur budaya dan pendidikan modern dari dunia Barat ke dunia Islam.
Sementara itu, kegiatan pendidikan
Islam di Indonesia lahir dan tumbuh serta berkembang bersamaan dengan masuk dan
berkembangnya islam di Indonesia. Sesungguhnya kegiatan pendidikan Islam
tersebut merupakan pengalaman dan pengetahuan yang penting bagi kelangsungan
perkembangan Islam dan umat Islam, baik secara kuantitas maupun kualitas.
Pendidikan Islam itu bahkan menjadi
tolak ukur, bagaimana Islam dan umatnya telah memainkan perananya dalam
berbagai aspek sosial, politik, budaya. Oleh karena itu, untuk melacak sejarah
pendidikan Islam di Indonesia dengan periodisasinya, baik dalam pemikiran, isi,
maupun pertumbuhan oraganisasi dan kelembagaannya tidak mungkin dilepaskan dari
fase-fase yang dilaluinya.
Fase-fase tersebut secara periodisasi dapat dibagi menjadi;
1.Periode masuknya Islam ke
Indonesia
2.Periode pengembangan dengan
melalui proses adaptasi
3.Periode kekuasaan kerajaan-kerajaan
Islam (proses politik)
4.Periode penjajahan Belanda (1619 –
1942)
5.Periode penjajahan Jepang (1942 –
1945)
6.Periode kemerdekaan I Orde lama
(1945 – 1965)
7. Periode kemerdekaan II Orde
Baru/Pembangunan (1966- sekarang)
b. Pusat
Keunggulan Pengkajian Islam Pada Tiga Kerajaan Islam di Aceh.
1. Zaman Kerajaan Samudra
Pasai Kerajaan Islam pertama di Indonesia adalah kerajaan Samudra
Pasai, yang didirikan pada abad ke-10 M dengan raja pertamanya Malik Ibrahim
bin Mahdum. Yang kedua bernama Al-Malik Al-Shaleh dan yang terakhir bernama
Al-Malik Sabar Syah (tahun 1444 M/ abad ke-15 H). (Mustofa Abdullah, 1999: 54)
Pada
tahun 1345, Ibnu Batutah dari Maroko sempat singgah di Kerajaan Pasai pada
zaman pemerintahan Malik Az-Zahir, raja yang terkenal alim dalam ilmu agama dan
bermazhab Syafi’i, mengadakan pengajian sampai waktu sholat Ashar dan fasih
berbahasa Arab serta mempraktekkan pola hidup yang sederhana. (Zuhairini,et.al,2000:135)
Keterangan Ibnu Batutah tersebut dapat ditarik kesimpulan pendidikan yang berlaku di zaman kerajaan Pasai sebagai berikut:
Keterangan Ibnu Batutah tersebut dapat ditarik kesimpulan pendidikan yang berlaku di zaman kerajaan Pasai sebagai berikut:
a. Materi
pendidikan dan pengajaran agama bidang syari’at adalah Fiqh mazhab Syafi’I
b. Sistem
pendidikannya secara informal berupa majlis ta’lim dan halaqoh
c. Tokoh pemerintahan merangkap tokoh agama
c. Tokoh pemerintahan merangkap tokoh agama
d. Biaya
pendidikan bersumber dari negara.(Zuhairini, et.al., 2000: 136)
Pada zaman kerajaan Samudra Pasai mencapai kejayaannya pada abad ke-14 M, maka pendidikan juga tentu mendapat tempat tersendiri. Mengutip keterangan Tome Pires, yang menyatakan bahwa “di Samudra Pasai banyak terdapat kota, dimana antar warga kota tersebut terdapat orang-orang berpendidikan”.(M.Ibrahim,et.al,1991:61)
Pada zaman kerajaan Samudra Pasai mencapai kejayaannya pada abad ke-14 M, maka pendidikan juga tentu mendapat tempat tersendiri. Mengutip keterangan Tome Pires, yang menyatakan bahwa “di Samudra Pasai banyak terdapat kota, dimana antar warga kota tersebut terdapat orang-orang berpendidikan”.(M.Ibrahim,et.al,1991:61)
Menurut
Ibnu Batutah juga, Pasai pada abad ke-14 M, sudah merupakan pusat studi Islam
di Asia Tenggara, dan banyak berkumpul ulama-ulama dari negara-negara Islam.
Ibnu Batutah menyatakan bahwa Sultan Malikul Zahir adalah orang yang cinta
kepada para ulama dan ilmu pengetahuan. Bila hari jum’at tiba, Sultan
sembahyang di Masjid menggunakan pakaian ulama, setelah sembahyang mengadakan
diskusi dengan para alim pengetahuan agama, antara lain: Amir Abdullah dari
Delhi, dan Tajudin dari Ispahan. Bentuk pendidikan dengan cara diskusi disebut
Majlis Ta’lim atau halaqoh. Sistem halaqoh yaitu para murid mengambil posisi
melingkari guru. Guru duduk di tengah-tengah lingkaran murid dengan posisi
seluruh wajah murid menghadap guru.
2. Kerajaan
Perlak
Kerajaan
Islam kedua di Indonesia adalah Perlak di Aceh. Rajanya yang pertama Sultan
Alaudin (tahun 1161-1186 H/abad 12 M). Antara Pasai dan Perlak terjalin kerja
sama yang baik sehingga seorang Raja Pasai menikah dengan Putri Raja Perlak.
Perlak merupakan daerah yang terletak sangat strategis di Pantai Selat Malaka,
dan bebas dari pengaruh Hindu.(Hasbullah, 2001: 29)
Kerajaan Islam Perlak juga memiliki pusat pendidikan Islam Dayah Cot Kala. Dayah disamakan dengan Perguruan Tinggi, materi yang diajarkan yaitu bahasa Arab, tauhid, tasawuf, akhlak, ilmu bumi, ilmu bahasa dan sastra Arab, sejarah dan tata negara, mantiq, ilmu falaq dan filsafat. Daerahnya kira-kira dekat Aceh Timur sekarang. Pendirinya adalah ulama Pangeran Teungku Chik M.Amin, pada akhir abad ke-3 H, abad 10 M. Inilah pusat pendidikan pertama.
Rajanya yang ke enam bernama Sultan Mahdum Alaudin Muhammad Amin yang memerintah antara tahun 1243-1267 M, terkenal sebagai seorang Sultan yang arif bijaksana lagi alim. Beliau adalah seorang ulama yang mendirikan Perguruan Tinggi Islam yaitu suatu Majlis Taklim tinggi dihadiri khusus oleh para murid yang sudah alim. Lembaga tersebut juga mengajarkan dan membacakan kitab-kitab agama yang berbobot pengetahuan tinggi, misalnya kitab Al-Umm karangan Imam Syafi’i.(A.Mustofa, Abdullah, 1999: 54)
Dengan demikian pada kerajaan Perlak ini proses pendidikan Islam telah berjalan cukup baik.
Kerajaan Islam Perlak juga memiliki pusat pendidikan Islam Dayah Cot Kala. Dayah disamakan dengan Perguruan Tinggi, materi yang diajarkan yaitu bahasa Arab, tauhid, tasawuf, akhlak, ilmu bumi, ilmu bahasa dan sastra Arab, sejarah dan tata negara, mantiq, ilmu falaq dan filsafat. Daerahnya kira-kira dekat Aceh Timur sekarang. Pendirinya adalah ulama Pangeran Teungku Chik M.Amin, pada akhir abad ke-3 H, abad 10 M. Inilah pusat pendidikan pertama.
Rajanya yang ke enam bernama Sultan Mahdum Alaudin Muhammad Amin yang memerintah antara tahun 1243-1267 M, terkenal sebagai seorang Sultan yang arif bijaksana lagi alim. Beliau adalah seorang ulama yang mendirikan Perguruan Tinggi Islam yaitu suatu Majlis Taklim tinggi dihadiri khusus oleh para murid yang sudah alim. Lembaga tersebut juga mengajarkan dan membacakan kitab-kitab agama yang berbobot pengetahuan tinggi, misalnya kitab Al-Umm karangan Imam Syafi’i.(A.Mustofa, Abdullah, 1999: 54)
Dengan demikian pada kerajaan Perlak ini proses pendidikan Islam telah berjalan cukup baik.
3. Kerajaan
Aceh Darussalam
Proklamasi
kerajaan Aceh Darussalam adalah hasil peleburan kerajaan Islam Aceh di belahan
Barat dan Kerajaan Islam Samudra Pasai di belahan Timur. Putra Sultan Abidin
Syamsu Syah diangkat menjadi Raja dengan Sultan Alaudin Ali Mughayat Syah
(1507-1522 M).
Bentuk
teritorial yang terkecil dari susunan pemerintahan Kerajaan Aceh adalah Gampong
(Kampung), yang dikepalai oleh seorang Keucik dan Waki (wakil). Gampong-gampong
yang letaknya berdekatan dan yang penduduknya melakukan ibadah bersama pada
hari jum’at di sebuah masjid merupakan suatu kekuasaan wilayah yang disebut
mukim, yang memegang peranan pimpinan mukim disebut Imeum mukim.(M. Ibrahim,
et.al., 1991: 75)
Jenjang pendidikan yang ada di Kerajaan Aceh Darussalam diawali pendidikan terendah Meunasah (Madrasah). Yang berarti tempat belajar atau sekolah, terdapat di setiap gampong dan mempunyai multi fungsi antara lain:
Jenjang pendidikan yang ada di Kerajaan Aceh Darussalam diawali pendidikan terendah Meunasah (Madrasah). Yang berarti tempat belajar atau sekolah, terdapat di setiap gampong dan mempunyai multi fungsi antara lain:
- Sebagai
tempat belajar Al-Qur’an
- Sebagai Sekolah
Dasar, dengan materi yang diajarkan yaitu menulis dan membaca huruf Arab, Ilmu
agama, bahasa Melayu, akhlak dan sejarah Islam. Fungsi lainnya adalah
sebagai berikut
- Sebagai tempat
ibadah sholat 5 waktu untuk kampung itu
- Sebagai tempat
sholat tarawih dan tempat membaca Al-Qur’an di bulan puasa.
- Tempat kenduri
Maulud pada bulan Mauludan.
- Tempat
menyerahkan zakat fitrah pada hari menjelang Idhul Fitri atau bulan puasa
- Tempat
mengadakan perdamaian bila terjadi sengketa antara anggota kampung.
- Tempat bermusyawarah
dalam segala urusan
- Letak meunasah
harus berbeda dengan letak rumah, supaya orang segera dapat mengetahui mana
yang rumah atau meunasah dan mengetahui arah kiblat sholat. (M. Ibrahim, 1991:
76)
Bidang pendidikan di kerajaan Aceh Darussalam
benar-benar menjadi perhatian. Pada saat itu terdapat lembaga-lembaga negara
yang bertugas dalam bidang pendidikan dan ilmu pengetahuan yaitu:
1. Balai
Seutia Hukama, merupakan lembaga ilmu pengetahuan, tempat berkumpulnya para
ulama, ahli pikir dan cendikiawan untuk membahas dan mengembangkan ilmu
pengetahuan.
2. Balai
Seutia Ulama, merupakan jawatan pendidikan yang bertugas mengurus masalah-masalah
pendidikan dan pengajaran.
3. Balai
Jama’ah Himpunan Ulama, merupakan kelompok studi tempat para ulama dan sarjana
berkumpul untuk bertukar fikiran membahas persoalan pendidikan dan ilmu
pendidikannya.
Aceh
pada saat itu merupakan sumber ilmu pengetahuan dengan sarjanasarjanaya yang
terkenal di dalam dan luar negeri. Sehingga banyak orang luar datang ke Aceh
untuk menuntut ilmu, bahkan ibukota Aceh Darussalam berkembang menjadi kota
Internasional dan menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan.
C. KESIMPULAN
Pendidikan merupakan
suatu proses belajar pengajar yang membiasakan kepada warga masyarakat sedini
mungkin untuk menggali, memahami dan mengamalkan semua nilai yang disepakati
sebagai nilai yang terpujikan dan dikehendaki, serta berguna bagi kehidupan dan
perkembangan ciri pribadi, masyarakat, bangsa dan negara. Pendidikan Islam
sendiri adalah proses bimbingan terhadap peserta didik ke arah terbentuknya
pribadi muslim yang baik (insan kamil)
Keberhasilan dan
kemajuan pendidikan di masa kerajaan Islam di Aceh, tidak terlepas dari
pengaruh Sultan yang berkuasa dan peran para ulama serta pujangga, baik dari
luar maupun setempat, seperti peran Tokoh pendidikan Hazah Fansuri, Syamsudin
As-Sumatrani, dan Syaeh Nuruddin A-Raniri, yang menghasilkan karya-karya besar sehingga
menjadikan Aceh sebagai pusat pengkajian Islam.
Komentar
Posting Komentar